• HALAMAN UTAMA
  • KARIER & PENDIDIKAN
  • KELUARGA
  • MENULIS

Alanda Kariza

Eliminating the Limits

#KetikaMenulis: Sitta Karina

November 11, 2018

Sitta Karina adalah salah satu sosok yang sangat berjasa dalam membantu saya menemukan karier di dunia kepenulisan. Buku pertamanya, Lukisan Hujan, adalah salah satu buku favorit saya — bahkan sampai sekarang. Kak Arie, begitu Sitta Karina biasa saya sapa, juga merupakan endorser untuk novel pertama yang saya terbitkan di usia 14 tahun. Tidak hanya itu — ia juga hadir sebagai pembicara di acara peluncuran novel tersebut.

Saat ini, Kak Arie sudah menerbitkan begitu banyak buku, mulai dari serial Hanafiah yang fenomenal, sampai serial-serial fantasi seperti Magical Seira dan Aerial.

Dari sekian banyak naskah yang telah Kak Arie terbitkan, mana karya yang menjadi favorit Kak Arie?
Lukisan Hujan. Ada kenangan tersendiri dengan naskah ini, tidak hanya proses kreatif menulisnya, tapi juga perjuangan bagaimana akhirnya naskah ini diterima penerbit dan diterbitkan.

Kapan dan di mana Kak Arie biasa menulis?
Saya menulis kapan saja di saat saya sedang tidak mengurus keluarga, jadi lebih sering saat anak-anak bersekolah dan suami pergi ke kantor di pagi hari. Atau malam hari, setelah anak-anak tidur dan sebelum suami pulang.

Jadwal bekerja saya biasanya 2 jam di pagi hari dan 2 jam di malam hari. Setelah berkeluarga, apa yang saya kerjakan selama kurun waktu itu tidak selalu menulis. Kadang saya menggambar, belajar topik baru di internet (atau topik menulis di writersdigest.com!), mengurus paperwork berkaitan dengan perencanaan keuangan keluarga, urusan pajak, dan ada sisipan 15 menit untuk saya mempersiapkan tema belajar anak-anak setelah mereka pulang sekolah. Jadi, hari-hari saya tidak melulu isinya menulis.

Untuk tempat menulis, saya paling suka menulis di rumah, di meja kerja saya sendiri.

Bagaimana susunan meja kerja yang Kak Arie miliki?

meja-kerja-sitta-karina

Meja kerja Sitta Karina

Meja kerja saya tidak hanya berisi hal-hal tentang menulis, tetapi juga urusan mendesain sampai administrasi sekolah anak. Semua yang ada di sini merupakan benda-benda esensial mengingat ruang kerja ini “nyempil” di rumah mungil kami.

Apa ada alat atau aplikasi tertentu yang biasa Kak Arie gunakan untuk menulis?
Saat ide muncul dan saya sedang tidak di rumah, saya biasanya menuliskan di ponsel. Lalu ketika sampai rumah, saya akan menuangkan ke laptop.

Bagaimana dengan musik? Apakah Kak Arie mendengarkan musik ketika sedang menulis?
Selalu. Kadang playlist Top 40, kadang musik instrumental dari musisi Jepang seperti Joe Hishashi, Kajiura Yuki, dan S.E.N.S.

Bagaimana proses pengerjaan sebuah buku atau karya berjalan bagi Kak Arie?

Pertama, pada proses pramenulis, saya akan rumuskan ide sedetail mungkin sampai menjadi 1 halaman informasi dasar tentang calon karya (premis, latar belakang, tokoh dan motivasinya, latar, plot, dsb). Lalu saya mulai menulis cerita tersebut berpedoman pada plot yang sudah saya rencanakan sebelumnya dan pada motto “ini hanya draf, jadi menulislah sebebasnya”. Fase terakhir adalah memeriksa dan menyunting kembali naskah tersebut setidaknya 2 minggu setelah saya menyelesaikan naskah.


#KetikaMenulis adalah serial tulisan yang berisi wawancara dengan penulis-penulis terkemuka di Indonesia, mengupas bagaimana mereka menjalani proses kreatif dalam pembuatan sebuah tulisan, termasuk kebiasaan-kebiasaan para penulis ketika menulis. #KetikaMenulis diterbitkan setiap hari Minggu kedua setiap bulan di alanda-kariza.com. Ada nama penulis kamu kagumi dan inginnya bisa kita wawancarai? Cantumkan di kolom Komentar di bawah ya.

Leave a Comment LABELS ~ Ketika Menulis, Menulis

SHARE >>

#KetikaMenulis: Bernard Batubara

Oktober 14, 2018

Di #KetikaMenulis kali ini, saya mewawancarai salah seorang teman penulis saya, Bernard Batubara. Bara dikenal melalui karya-karya fiksinya seperti Cinta. dan Jatuh Cinta adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri. Kami mulai berkarier secara serius di bidang kepenulisan di periode yang kurang lebih sama. Berikut adalah wawancara saya dengan Bara mengenai cara Bara menulis.

Anda telah menerbitkan sejumlah buku dan mempublikasikan sejumlah cerita pendek. Apakah ada karya yang menjadi favorit Anda?
Saya menulis puisi, cerita pendek, dan novel. Karya favorit saya adalah buku pertama saya, Angsa-Angsa Ketapang, kumpulan puisi yang terbit pada awal tahun 2010. Buku itu saya terbitkan secara mandiri (self-publishing) dengan kesadaran bahwa tidak ada penerbit major yang mau menerbitkan naskah kumpulan puisi saya. Pada waktu itu, semua penerbit major hanya menerbitkan kumpulan puisi dari penyair-penyair besar. Penyair yang tak punya nama seperti saya bisa dipastikan tak menarik perhatian mereka. Maka, saya mengumpulkan uang bulanan dari orangtua (saat itu usia saya 20 tahun, kuliah tahun ketiga) dan mencetak kumpulan puisi pertama saya, hanya 50 eksemplar. Itu pun saya bagi-bagikan gratis ke teman-teman sesama penulis muda, dan orang-orang terdekat. Setelah menerbitkan buku itu, selama sebulan saya hanya makan nasi dan mi instan.

Boleh dibilang, Anda merupakan salah satu penulis Indonesia yang cukup produktif. Kapan biasanya Anda menulis? Apakah Anda lebih senang menulis di pagi atau malam hari?
Sebenarnya sih masih banyak yang jauh lebih produktif, mereka bisa menerbitkan empat sampai lima novel dalam satu tahun. Saya, sejauh ini, paling banyak dua buku dalam setahun (kombinasi antara kumpulan cerpen dan novel). Saya menulis ketika saya ingin menulis. Untungnya, saya selalu merasa ingin menulis. Saya bisa menulis kapan saja. Pada suatu fase, saya menulis setiap bangun subuh, pukul empat sampai pukul enam pagi, sebelum berangkat kuliah. Pada fase yang lain, terutama setelah saya lulus kuliah, saya menulis siang hingga malam hari, pukul satu sampai pukul delapan atau sembilan malam. Pada fase sekarang, yakni ketika saya sudah menjadi karyawan dan memiliki jam berkantor, saya menulis setelah jam kantor usai, pukul tujuh sampai sebelas malam. Saya pernah menjadi morning person dalam waktu yang sangat lama, sebelum akhirnya kebiasaan bangun pagi itu berubah setelah saya tidak lagi kuliah. Saya sulit bangun pagi karena hampir setiap hari saya begadang untuk menulis. Kalau ada jam-jam favorit untuk menulis, mungkin malam hari, sekitar pukul delapan sampai tengah malam. Tapi, pada dasarnya, saya bisa menulis kapan saja, asalkan tidak sedang diajak bicara.

Di mana Anda sering menulis?
Saya tidak bisa menulis di tempat sepi. Saya menyukai tempat-tempat sepi, karena tempat-tempat sepi membuat saya tenang dan nyaman dengan diri saya sendiri. Namun, kalau untuk menulis, saya lebih memilih tempat-tempat yang ‘bersuara’. Saya butuh suara-suara untuk tetap sadar dan melek. Saya pernah mencoba menulis di dalam kamar, tapi seringnya malah mengantuk dan berakhir dengan ketiduran. Ternyata, saya tidak bisa menulis jika suasana di sekeliling saya terlalu hening. Keheningan membuat saya mengantuk, dan kalau mengantuk tentunya lebih enak tidur daripada menulis.

Saya menyelesaikan sebagian besar naskah novel dan cerita pendek saya di kafe. Kafe memberikan saya suara-suara, dalam kadar yang pas. Ada suara-suara orang-orang yang sedang berbicara, suara-suara mesin penyeduh kopi, suara-suara langkah-langkah kaki, semuanya membuat saya tetap sadar dan tidak mengantuk, sehingga saya bisa berpikir untuk menuliskan cerita-cerita saya. Meskipun saya membutuhkan suara-suara untuk menulis, saya tidak bisa menulis sambil mendengarkan lagu lewat earphone.

Bagaimana susunan meja kerja yang Anda miliki?
Karena saya jarang menulis di dalam kamar, saya tidak punya meja kerja. Lagipula, kamar kos-kosan saya tidak memberi ruang yang cukup untuk saya membeli meja kerja. Di rumah orangtua saya di Pontianak, saya memiliki meja kerja, tapi saya belum pernah menulis dan menyelesaikan naskah apapun di sana karena saya hanya pulang ke rumah orangtua sekali dalam setahun, setiap menjelang lebaran. Meja kerja saya adalah di manapun tempat saat saya menulis: meja bundar kecil di sudut kafe, meja di kamar hotel saat saya sedang bepergian keluar kota, meja di minimarket 24 jam. Selama ada meja, dan saya sedang ingin menulis, maka itulah meja kerja saya.

Oh, ya, biasanya saat menulis, di atas ‘meja kerja’ saya pasti ada hal-hal ini: laptop, bloknot, pulpen, novel atau kumpulan cerpen atau buku puisi, dan sebotol air mineral (berganti-ganti dengan iced lemon tea atau double shots iced shaken espresso, tergantung saat itu saya sedang ingin minum apa).

Saat merancang outline atau plot untuk novel, membuat bagan karakter, saya menulis di bloknot. Saat menulis draf puisi juga saya menggunakan pulpen dan bloknot. Saat menulis draf utuh naskah novel atau puisi yang sudah selesai ditulis di bloknot, barulah saya mengetik di laptop. Beberapa kali saya pernah menulis puisi di ponsel, saat sedang dalam perjalanan dan tidak sempat menulis di bloknot. Namun demikian, saya belum pernah menulis cerita pendek dan novel utuh di ponsel.

Apakah Anda biasa mendengarkan musik ketika sedang menulis?
Sekali-kali, saya mendengarkan musik. Meskipun sempat saya katakan sebelumnya bahwa saya sulit berkonsentrasi kalau menulis sambil mendengarkan musik. Saya mendengarkan musik, seringnya, hanya untuk membangun mood. Lagu-lagu yang saya dengarkan biasanya sesuai dengan adegan yang sedang ingin saya tulis, dan ambience yang ingin saya dapatkan di dalam adegan itu. Misal, saya sedang ingin menulis adegan yang mellow dan sedih, maka saya mendengarkan lagu-lagu mellow dan sedih. Atau, saat saya ingin menulis adegan cute dan manis, maka saya mendengarkan lagu-lagu yang bernuansa manis. Begitu pula saat saya ingin menulis adegan pertengkaran atau marah-marah, maka saya mendengarkan lagu rock, metal, atau bahkan underground (tapi ini jarang sekali, karena di cerita-cerita yang saya tulis jarang ada orang marah-marah).

Kadangkala, saya mendengarkan musik yang sesuai dengan karakter dalam novel. Draf terbaru saya, Sarif & Nur (sedang menunggu giliran penyuntingan di penerbit, direncanakan terbit tahun ini), tokohnya adalah seorang pemain biola, dan di dalam plotnya banyak lagu-lagu klasik yang muncul, maka saat menuliskan Sarif & Nur saya selalu mendengarkan lagu-lagu Brahms, Bach, dan Chopin.

Bagaimana “hari menulis” Anda biasanya berjalan?
Saya punya “hari menulis” ini jika saya sedang mengerjakan sebuah novel. Untuk cerita-cerita pendek ‘lepas’, saya menulis kapanpun saya ingin menulis, tanpa pola tertentu. Untuk puisi, karena pendek-pendek, ‘pola’nya seperti menulis cerita pendek, kapanpun saya ingin. Sebelum saya memiliki jam berkantor, saya punya “hari menulis”, dan berlangsung kira-kira seperti ini: Bangun tidur pukul sembilan, sarapan, mandi, pergi ke kafe setelah makan siang, menulis sampai petang, makan malam, lanjut menulis sampai tengah malam, pulang ke kos. Rutinitas ini berlangsung hingga draf pertama novel saya selesai.

Bisakah Anda menceritakan bagaimana proses yang biasanya Anda lalui ketika menerbitkan sebuah karya – mulai dari membuat kerangka tulisan sampai akhirnya tulisan tersebut diterbitkan?
Saya selalu membuat sinopsis dan outline sebelum menulis draf novel. Setelah sinopsis dan outline beres, saya menulis draf pertama. Proses menulis draf pertama hingga selesai biasanya memakan waktu satu hingga dua bulan (saat ini, karena kewajiban saya bertambah, durasi yang saya butuhkan untuk menyelesaikan satu naskah novel pun menjadi lebih lama, bisa empat hingga lima bulan). Setelah draf pertama selesai, saya endapkan. Proses pengendapan naskah berlangsung tiga minggu hingga satu bulan. Setelah pengendapan, saya baca ulang, dan memulai revisi mandiri (self-editing) untuk menghasilkan draf kedua. Draf kedua ini yang saya kirim ke editor. Setelah draf naskah diterima oleh editor, saya tinggal menunggu editor memulai proses penyuntingan (lama waktu menunggu tergantung kesibukan editor pada saat itu). Proses penyuntingan naskah sendiri biasanya berlangsung satu sampai dua bulan. Setelah penyuntingan, masuk ke tahap perancangan tata letak (layout) dan sampul (cover). Editor akan mengirimi contoh layout dan pilihan cover. Sebagai penulis, saya diberi hak untuk memilih layout dan cover mana yang saya inginkan untuk novel saya. Setelah semuanya beres, maka tinggal menunggu tanggal naik cetak. Seluruh proses ini berlangsung selama kurang-lebih empat sampai lima bulan.

Setelah buku naik cetak dan didistribusikan ke toko-toko buku, biasanya saya diberi jadwal talkshow, untuk bertemu pembaca dan mempromosikan buku terbaru saya. Ini adalah kesempatan untuk membuat orang-orang yang telah membaca buku saya semakin ingin membaca buku terbaru saya, dan orang-orang yang belum pernah membaca buku saya, menjadi penasaran dan ingin membaca buku saya. Bukankah salah satu tugas pengarang adalah mempengaruhi orang lain dengan tulisannya? Termasuk mempengaruhi mereka untuk membeli buku kita. Hehehe.

Saya kira, bagian terpenting dari pertanyaanmu dan penjelasan saya untuk pertanyaan ini adalah, setiap orang yang ingin menjadi penulis (published author) harus mengetahui tahapan-tahapan ini, sehingga tidak buru-buru atau cepat patah arang dan menyalahkan penerbit untuk proses yang memakan waktu lama. Terbitnya sebuah buku bukan proses yang lekas seperti memasak mi instan, kecuali kamu ingin bukumu seperti mi instan: Mungkin cepat saji dan bisa segera disantap, tapi tidak sehat dan berbahaya. Begitu pula jika ingin menjadi seorang penulis, tidak ada yang instan, semua butuh proses. Kamu akan menghadapi kesulitan yang seperti tidak ada ujungnya, kehilangan mood, memeras otak untuk mendapatkan ide dan plot yang bagus, kekeringan inspirasi, dan lain sebagainya. Jika kamu tidak tahan dengan proses ini, lebih baik kamu memelihara ikan atau burung. Sebab, sebagaimana tidak ada pelaut handal terlahir dari samudera yang tenang, tidak ada penulis besar lahir dari proses yang gampang.


#KetikaMenulis adalah serial tulisan yang berisi wawancara dengan penulis-penulis terkemuka di Indonesia, mengupas bagaimana mereka menjalani proses kreatif dalam pembuatan sebuah tulisan, termasuk kebiasaan-kebiasaan para penulis ketika menulis. #KetikaMenulis diterbitkan setiap hari Minggu kedua setiap bulan di alanda-kariza.com. Ada nama penulis kamu kagumi dan inginnya bisa kita wawancarai? Cantumkan di kolom Komentar di bawah ya.

Leave a Comment LABELS ~ Ketika Menulis, Menulis

SHARE >>

Hidup Lebih ‘Minimal’ dengan Style Theory

September 10, 2018

Tahun lalu, saya membaca buku Fumio Sasaki berjudul Goodbye, Things yang menceritakan soal pengalamannya mengubah gaya hidup menjadi lebih minimalis. Selama tiga tahun ke belakang, saya berpindah-pindah ke empat kota dan menyadari bahwa memiliki banyak barang itu – seperti yang Fumio Sasaki bilang – memang cenderung melelahkan. Belakangan, saya jadi lebih jarang membeli barang terutama pakaian dan memilih untuk mengenakan pakaian yang itu-itu saja setiap harinya.

Namun, ketika hendak berjalan-jalan atau ada pekerjaan yang memaksa saya untuk tampil berbeda (menjadi pembicara atau syuting/pemotretan, misalnya), saya sadar bahwa saya tetap membutuhkan baju yang ‘spesial’! Seringkali, saya sudah menghibahkan baju-baju yang jarang saya pakai, dan akhirnya tidak punya banyak pilihan pakaian untuk acara atau kegiatan resmi. Saat ini, saya juga sedang hamil, sehingga kalau beli baju sekarang cenderung tidak ada gunanya (karena hanya akan dipakai dua bulan lagi :D). Lalu, saya menemukan Style Theory yang sepertinya bisa menjadi solusi!

Style Theory adalah sebuah aplikasi di mana kita bisa menyewa pakaian. Kita bisa berlangganan untuk menggunakan layanan dan aplikasinya. Saat sudah berlangganan, kita bisa menyewa tiga pakaian dalam sekali waktu. Pakaian bisa kita pilih melalui aplikasi dan akan dikirim di dalam sebuah boks. Jika sudah selesai, pakaian tersebut tidak perlu dicuci. Kita bisa langsung mengembalikannya ke boks tempat pakaian itu dikirim dan meminta Style Theory untuk menjemput boks tersebut. Ketika boks sudah kembali ke Style Theory, kita bisa memesan tiga pakaian lain lagi untuk disewa — dan begitu seterusnya!

Waktu mau jalan-jalan ke San Francisco bulan Juli lalu, berlangganan Style Theory sangat membantu saya. Mayoritas pakaian ‘pergi’ saya sudah tidak muat karena tubuh saya mulai membesar. Berkat Style Theory, saya tetap bisa punya beberapa pilihan baju tambahan untuk berjalan-jalan dan tidak perlu repot karena ada fasilitas antar jemput dan cuci gratis dari Style Theory.

Koleksi Style Theory yang saya kenakan di California. First time in a jumpsuit!

Yang lebih spesial lagi, Style Theory hanya menampilkan baju karya desainer, baik lokal maupun dari luar negeri. Jadi, mayoritas koleksinya cocok untuk dikenakan di acara formal. Saya juga mengenakan koleksi dari Style Theory untuk peluncuran buku Metropolis Melancholy di pertengahan Agustus lalu. (Koleksi Style Theory beragam sekali, tetapi saya memang suka baju berwarna hitam. Hehehe.)

Kalau kamu tertarik untuk berlangganan Style Theory, kamu bisa mendapatkan potongan harga dengan mengakses tautan ini. Biaya berlangganan memang ada, tetapi menurut saya jauh lebih ‘masuk akal’ dibanding membeli banyak baju baru setiap bulannya. Kadang kita lupa, biaya membeli baju itu bukan hanya biaya “beli”-nya, tetapi juga biaya mengurusnya (cuci, setrika, dll) dan biaya penyimpanan/ruang tambahan di rumah.

Salam hangat, 

Alanda

Leave a Comment LABELS ~ Lain-lain

SHARE >>

#KetikaMenulis: Windy Ariestanty

September 9, 2018

Saya pertama kali bertemu dengan Windy Ariestanty pada tahun 2010, ketika GagasMedia mengajak saya untuk menulis di bawah naungannya. Kami berbincang soal ide-ide saya, dan akhirnya tercetus ide untuk menulis naskah yang dua tahun kemudian diterbitkan dengan judul DreamCatcher. Sejak saat itu, berdiskusi dengan Mbak Windy selalu menjadi kegiatan yang saya tunggu-tunggu, karena ia selalu mengajak saya untuk melangkah mundur dan melihat sesuatu dari perspektif yang berbeda–melihat segala sesuatunya dengan lebih “lengkap”. Begitu juga dengan tulisan-tulisannya, yang selalu membawa kita untuk melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda.

Anda telah menerbitkan sejumlah buku dan tulisan lepas. Karya mana yang menjadi favorit Anda sampai saat ini, dan mengapa?

ini pertanyaan yang sangat sulit untuk saya jawab. ibarat orangtua ditodong dengan pertanyaan anak mana yang paling disayanginya. jawaban saya tidak ada. saya menyukai semua proses menulis yang saya alami dalam melahirkan karya saya. setiap buku atau karya yang saya tulis mengajarkan hal yang berbeda-beda, tidak bisa dibandingkan. tema berbeda, kesulitan berbeda, proses pengendapan berbeda, bahkan proses editingnya pun berbeda.

tapi kalau ditanya buku mana yang memakan waktu paling lama saya kerjakan, maka jawabannya adalah memoar ibu robin lim, cnn hero 2011. saya menghabiskan waktu 2 tahun lebih untuk menyelesaikannya. ini kali kedua saya mengerjakan memoar dan tantangan pada buku memoar kedua saya ini, berbeda jauh dengan pada buku pertama yang bisa saya selesaikan dalam 3 bulan saja.

Boleh dibilang, Anda merupakan salah satu penulis Indonesia yang cukup produktif, ditambah dengan pekerjaan sebagai editor. Kapan biasanya Anda menulis? Apakah Anda lebih senang menulis di pagi atau malam hari?
waktu favorit menulis saya adalah tengah malam dan pagi hari. tengah malam hingga pukul 3-4 pagi, lalu saya tidur, bangun, lari pagi, lalu melanjutkan menulis hingga pukul 8 atau 9 lalu berangkat ke kantor dan beraktivitas lainnya. namun, pada dasarnya saya bisa menulis kapan pun ketika dibutuhkan. bila sedang ‘on fire’, saya bisa menulis dua hari nonstop. berhenti hanya untuk mandi dan makan. lalu tidur sebentar, dan menulis lagi.

ini biasanya terjadi ketika dalam seminggu penuh saya kesulitan menemukan waktu untuk menulis karena kesibukan atau kelelahan atau kemalasan saya. maka pada sabtu-minggu saya akan masuk ke ‘dunia’ saya dan tinggal di sana selama 2 hari penuh. seolah menebus malam-malam sebelumnya yang tak digunakan untuk menulis.

kalau senin-jumat saya punya waktu menulis, maka sabtu-minggu adalah hari libur saya. saya akan bermain dan tak melakukan apa pun yang berkaitan dengan menulis.

Di mana Anda sering menulis?
di mana saja dan dalam kondisi apa saja. saya tak pernah punya tempat khusus untuk menulis. kalau sedang deadline–yang mana deadlinenya saya sendiri yang menentukan–saya bisa menulis di mana saja, tak peduli itu tempat ramai atau sepi.

kalau di tempat yang sangat ramai, saya biasanya menggunakan pelantang telinga (headset), tapi tidak dengan menyalakan musik. hanya untuk membangun jarak saja dan membuat fokus saja. kalau tempat sepi, biasanya tanpa pelantang telinga. kenapa tidak ada lagunya, karena pada dasarnya sambil menulis, telinga saya juga mencerap apa yang terjadi di sekitar. itu untuk melatih sensitivitas dan fokus saja.

bahkan, saya tidak punya meja kerja khusus di rumah ataupun di kantor karena saya lebih banyak berada di luar ruangan. meja kerja di kantor saya bersih tanpa ornamen atau pernak-pernik. hanya ada kalender yang berisi jadwal ini dan itu serta gelas minum. di rumah, saya hanya punya meja pangku untuk laptop. ini untuk memudahkan saya tidak terikat pada satu tempat yang saya anggap menyamankan saya untuk bekerja atau menulis.

Apakah Anda biasa mendengarkan musik ketika sedang menulis? Musik yang seperti apa?
kadang mendengar dan kadang tidak. kalau sedang di rumah, kadang saya mendengar. tapi kalau di tempat umum, pelantang telinga itu tidak mengeluarkan suara apa pun.

musik yang saya dengar sangat random. saya tidak punya musik khusus untuk menulis. saya bisa mendengarkan jazz, rock, grunge, sampai musikalisasi puisi. bahkan bisa sekadar mendengar rekaman suara alam saja.

tapi saya memang punya kecenderungan mendengarkan dan merespons lagu-lagu yang secara lirik kuat.

Bagaimana Anda biasanya menulis?
alat-alat yang saya gunakan antara lain laptop, losel, tablet, buku catatan, dan perekam suara. voice note bisa sangat membantu kalau ada ide muncul tapi nggak sempat nyatet atau nulisnya, tinggal rekam, nanti didengarin lagi dan dituliskan.

selain itu, saya menulis dengan kondisi bersih. bisa sudah mandi atau kalau tidak mandi, saya akan menggosok gigi saya berkali-kali (minimal 3 kali), mengganti pakaian saya, dan menulis. buat saya ini penting.

saya bisa juga terbangun dan langsung mencari laptop saya lalu menulis sampai saya merasa perlu berhenti. ketika berhenti ini, saya akan mandi atau menggosok gigi lebih dari sekali, mengganti baju, lalu lanjut menulis.

dari semua itu yang terpenting adalah menggosok gigi (minimal 3 kali dalam sekali pergi ke kamar mandi). begitu pun kalo lagi stuck, saya hanya perlu ke kamar mandi dan menggosok gigi lalu berdiam sebentar di wc. ;p

berkenaan dengan struktur kepenulisan, buat saya merumuskan premis itu penting. saya akan selalu berangkat dari premis, membuat outline, lalu mulai menulis.

buku yang saya buat tanpa menggunakan outline adalah kala-kali. itu bagian dari eksperimen proses menulis saya.


#KetikaMenulis adalah serial tulisan yang berisi wawancara dengan penulis-penulis terkemuka di Indonesia, mengupas bagaimana mereka menjalani proses kreatif dalam pembuatan sebuah tulisan, termasuk kebiasaan-kebiasaan para penulis ketika menulis. #KetikaMenulis diterbitkan setiap hari Minggu kedua setiap bulan di alanda-kariza.com. Ada nama penulis kamu kagumi dan inginnya bisa kita wawancarai? Cantumkan di kolom Komentar di bawah ya.

Leave a Comment LABELS ~ Ketika Menulis, Menulis

SHARE >>

#KetikaMenulis: Salman Aristo

Agustus 12, 2018

Saya pertama kali mengenal Mas Aris, panggilan akrab Salman Aristo, ketika terlibat pada pembuatan film Queen Bee di tahun 2009. Saya pun segera mencari tahu apa saja karya-karya beliau, dan sejak berkenalan, saya selalu menyempatkan diri untuk menyaksikan film yang Mas Aris garap. Sebenarnya, tidak banyak film Indonesia yang berhasil memiliki kesan di hati setelah saya menontonnya. Namun, film-film besutan Mas Aris, baik sebagai produser, sutradara, maupun tentunya penulis, seperti Catatan Akhir Sekolah, Garuda Di Dadaku, Hari Untuk Amanda, dan tentunya Jakarta Hati, selalu menjadi film yang berkesan pagi saya. Dan mungkin juga bagi kamu.

Kamu juga bisa belajar secara langsung dengan Salman Aristo tentang bagaimana cara menulis skenario film dengan mendaftarkan diri di workshop Skenario Dasar (Film) yang diselenggarakan oleh PlotPoint.

Dari begitu banyak film yang telah Mas Aris buat dan skenarionya Mas Aris tulis, mana film yang menjadi favorit?

Sebenarnya, masing-masing skenario punya efeknya sendiri buat gue. Jadi, rasanya semuanya penting. Tapi, mungkin Laskar Pelangi memberikan impact yang luar biasa di luar film, karena film itu mengingatkan gue betapa cerita memang punya kekuatan luar biasa. Berikutnya Hari Untuk Amanda, Garuda Di Dadaku, dan Catatan Akhir Sekolah. Asyik menulisnya dan hasilnya juga tembus ekspektasi gue.

Bagaimana Mas Aris biasa menulis? Apakah ada waktu dan tempat yang lebih disukai untuk menyelesaikan sebuah tulisan?

DSC_0420
Gue melatih diri gue untuk bisa menulis kapan dan dimana saja karena gue mengawali karier menulis sembari disambi kerja yang lain. Selain itu, karena gue pernah divonis hiperaktif, gue justru senang dengan tempat ramai. Tempat ramai ‘memaksa’ gue untuk bisa fokus. Kalau sepi, konsentrasi gue malah sering kemana-mana. Gue harus ditemani sesuatu. Bisa musik, gitar atau lainnya. Nah, karena terbiasa nulis di mana saja, gue nyaris nggak punya meja. Senang pindah-pindah. Tiap tempat bisa ngasih impulse kreatif ke gue. Intinya, gue perlu kedinamisan.

Apa saja alat yang Mas Aris gunakan untuk menulis?

Laptop. Moleskine. iPad mini.

Apakah Mas Aris biasa mendengarkan musik ketika menulis?

Seringnya begitu. Gue anak 90-an. Mentingin lirik. Seneng yang folky atau balada tapi ‘kenceng’ secara isi. REM, U2, Pearl Jam. Iwan Fals dan turunannya.

Bagaimana “hari menulis” Mas Aris biasanya berjalan?

Biasanya tergantung deadline project. Gue ngukur dari situ. Butuh berapa hari. Dan gue menulis di sela segala kegiatan yang lain. Tapi paling penting gue mengenali cara gue menghabiskan 24 jam gue. Gue atur menulis dengan deadline sebagai patokan. Tapi meski nggak matok waktu, paling sering itu pagi ke siang atau malam gue menulis.

Ketika menyelesaikan sebuah skenario atau tulisan, apa saja tahapan atau proses yang biasanya Mas Aris lalui?

Gue selalu percaya bahwa penulis itu harus menguasai tehnik atau formula yang dia percaya. Nah, gue punya itu. Dengan sedisiplin mungkin gue melakukan tiap tingkapnya. Bikin premis dulu. Alur. Sequence, dll.

Gue juga mengimani writing is rewriting. Jadi proses dan tahapan amat penting buat gue.


#KetikaMenulis adalah serial tulisan yang berisi wawancara dengan penulis-penulis terkemuka di Indonesia, mengupas bagaimana mereka menjalani proses kreatif dalam pembuatan sebuah tulisan, termasuk kebiasaan-kebiasaan para penulis ketika menulis. #KetikaMenulis diterbitkan setiap hari Minggu kedua setiap bulan di alanda-kariza.com. Ada nama penulis kamu kagumi dan inginnya bisa kita wawancarai? Cantumkan di kolom Komentar di bawah ya.

Leave a Comment LABELS ~ Ketika Menulis, Menulis

SHARE >>

Pemotretan dengan SweetEscape di San Francisco

Agustus 8, 2018

Pada bulan Juli lalu, saya harus melakukan perjalanan dinas ke Silicon Valley selama kurang lebih lima hari. Waktu itu, saya hanya mau pergi kalau suami ikut, karena sedang hamil hampir lima bulan dan tidak berani melakukan perjalanan sendirian. Ternyata suami bisa ikut, dan kami memutuskan untuk sedikit memperpanjang rencana perjalanan tersebut untuk sekalian “bulan madu”. California juga merupakan daerah yang belum pernah kami berdua kunjungi sebelumnya.

Kami suka sekali melakukkan perjalanan, tetapi jarang bisa memiliki foto yang bagus jika hanya melakukan perjalanan berdua saja. Biasanya, baru bisa punya foto-foto bagus kalau perginya berramai-ramai dengan teman-teman.

Saya pun memutuskan untuk menggunakan jasa SweetEscape, yang menghubungkan kita (pejalan) dengan fotografer lokal di kota/negara yang dituju.

Proses Pemotretan dengan SweetEscape

  1. Saya membuat akun di situs SweetEscape dan memilih kota yang akan saya kunjungi.
  2. SweetEscape menginformasikan biaya yang harus dikeluarkan, dan jika kita sudah oke, mencarikan fotografer lokal yang jadwalnya cocok dengan kita. Dengan biaya yang diinformasikan, biasanya kita mendapatkan sesi foto selama dua jam (jumlah lokasi atau pakaian yang dikenakan terserah kita) dan 40 foto digital. Nantinya, kita bisa membeli lebih banyak foto dengan biaya tertentu.
  3. Setelah fotografer didapatkan, kita akan dihubungkan melalui aplikasi SweetEscape, di mana kita bisa mengobrol langsung dengan fotografernya. Awalnya, karena SweetEscape ini perusahaan dari Indonesia, saya berpikir bahwa fotografernya sudah pasti orang Indonesia yang tinggal di luar negeri. Ternyata, fotografer saya bernama Maria Boguslavkaya dan berasal dari Eropa (walaupun sudah tinggal di San Francisco selama beberapa tahun belakangan).
  4. Di Hari H, saya bisa dengan mudah menghubungi fotografer untuk kami melalui aplikasi tersebut. Maria tampak sangat profesional dan sudah tahu di mana saja titik-titik yang bagus untuk melakukan pemotretan. Saya dan suami (yang biasanya kikuk, dan masih kikuk :D) pun merasa nyaman dengan arahan dari Maria.
  5. Tiga hari setelah pemotretan dilakukan, foto sudah bisa saya unduh melalui aplikasi (dengan resolusi secukupnya, untuk media sosial) dan situs SweetEscape (dengan resolusi lebih besar, untuk dicetak).

Saya merasa puas sekali dengan layanan dari SweetEscape dan tentunya akan menggunakannya lagi di masa yang akan datang. Kamu bisa menggunakan kode promo dari saya, ALANDAKARIZA, saat melakukan reservasi untuk sesi pemotretan pertamamu di SweetEscape untuk mendapatkan diskon $50! Selamat mengabadikan momenmu bersama SweetEscape ya.

Salam hangat,
Alanda

Leave a Comment LABELS ~ Keluarga

SHARE >>

Pengalaman Menjadi Ketua PPI UK

Juli 23, 2018

Menjawab permintaan untuk berbagi soal pengalaman di PPI, saya memutuskan untuk menuliskan sedikit pengalaman dan pandangan saya soal PPI di blog ini. Semoga berkenan ya 🙂 

Memutuskan untuk Menjadi Ketua PPI 

Sebelumnya, saya tidak pernah berpikir untuk bergabung dengan PPI, apalagi menjadi Ketua. Saat hendak berangkat ke Inggris, saya hanya berencana untuk menjalani S-2 dan mungkin kerja paruh waktu jika mampu.

Namun, ketika ada informasi terkait dibukanya pencalonan untuk menjadi Ketua PPI, entah kenapa pikiran saya berubah. Pada saat itu, saya memiliki pengalaman organisasi yang relatif terbatas. Saya belum pernah bergabung dengan organisasi yang sudah berdiri sejak lama, baik di sekolah maupun di kampus (misalnya OSIS maupun BEM). Saya hanya pernah berorganisasi di badan yang saya dan teman-teman dirikan, yakni Sinergi Muda, dan pengalaman saya di sana menyenangkan sekali.

Di saat yang sama, ada sejumlah kawan yang menanamkan ide di kepala saya bahwa saya mungkin saja bisa berkarier di politik. Ini adalah suatu hal yang tidak saya percayai karena politik merupakan bidang yang belum pernah saya geluti sebelumnya. Saya juga sering mendengar berbagai cerita soal dunia politik di Indonesia yang digeluti oleh suami saya dan tidak pernah tertarik untuk bergabung. 

Saya jadi sempat berpikir: mari kita lihat. Jika saya bisa menjadi ketua di PPI yang hanya bisa dicapai melalui sistem politik, mungkin ide untuk bergabung di politik tidak seburuk itu. Saya juga ingin belajar soal bagaimana mengemban amanah ketika kita dipilih oleh sekian banyak orang untuk memimpin suatu organisasi.

VIEW POST

1 Comment LABELS ~ Karier & Pendidikan

SHARE >>

Merencanakan Kehamilan dengan PCOS

Juli 17, 2018

Seperti yang telah saya ceritakan melalui podcast ini, saya memiliki sindrom ovarium polikistik (PCOS). Saya tidak punya data untuk jumlah kasus di Indonesia. Namun, di Amerika Serikat, 1 dari 10 perempuan memiliki kondisi ini. Setiap kali berbagi soal PCOS melalui Instagram, selalu ada sejumlah kenalan yang merespons bahwa mereka (mungkin) mengalami hal yang sama. Jadi, saya memutuskan untuk membagi lebih lanjut soal bagaimana saya menghadapi PCOS, terutama dalam merencanakan kehamilan.

Saya tidak banyak berobat di dua tahun pertama pernikahan karena kami tidak berdomisili di Indonesia. Walaupun ada asuransi swasta di Australia dan sistem kesehatan universal NHS di Inggris (seperti BPJS di Indonesia), skema-skema ini belum tentu bisa digunakan untuk konsultasi kesuburan ke dokter spesialis. Berobat di Indonesia cukup sulit karena kami jarang kembali ke Tanah Air. Yang saya lakukan hanyalah melakukan tes hormon di Australia (karena bisa gratis sementara di Jakarta mahal sekali) dan berusaha mengkonsumsi makanan sesuai dengan saran dokter spesialis di Jakarta. 

VIEW POST

Leave a Comment LABELS ~ Keluarga

SHARE >>

Mempersiapkan Diri untuk Beasiswa Chevening

Juli 10, 2018

Jika kamu sudah membaca tulisan ini, merasa mantap untuk kuliah di luar negeri, dan memilih Inggris Raya sebagai negara tujuan, mungkin kamu bisa mendaftar untuk beasiswa Chevening. Beasiswa ini diberikan oleh pemerintah Inggris kepada orang-orang dari ratusan negara di dunia untuk mengenyam pendidikan magister selama satu tahun di universitas pilihannya di Inggris Raya. Setiap tahunnya, ada sekitar 60-an warga negara Indonesia yang mendapatkan beasiswa tersebut. Pendaftaran untuk mengikuti program seleksi beasiswa Chevening biasanya dibuka di bulan Agustus (bulan depan!) dan ditutup di bulan November. Oleh sebab itu, mungkin ini sudah saatnya bagi kamu untuk mempersiapkan diri. 😉

Saya tidak akan menuliskan proses untuk mendaftarkan diri karena hal itu bisa diakses dengan mudah di situs resmi mereka. Di tulisan ini, saya mengumpulkan pengalaman teman-teman seangkatan saya di program Chevening 2016/2017 yang bisa kamu baca maupun tonton.
VIEW POST

3 Comments LABELS ~ Karier & Pendidikan

SHARE >>

#KetikaMenulis: Dewi ‘Dee’ Lestari

Juli 8, 2018

Dewi Lestari, atau yang lebih populer dengan nama pena Dee di buku-buku karyanya, merupakan salah satu penulis Indonesia yang karyanya paling ditunggu-tunggu. Karyanya yang bisa dibilang paling populer  adalah serial Supernova. Selain itu, Dee juga menerbitkan novel Perahu Kertas, antologi tulisan Filosofi Kopi, Madre, Rectoverso, serta yang paling baru Aroma Karsa. Di mana pun Dee menulis, sepertinya penggemarnya selalu mengikuti dan menjadi gugus yang setia menunggu semua tulisannya.

Dee pernah menceritakan pengalamannya menyelesaikan novel Perahu Kertas dalam waktu 55 hari di sebuah blog. Saya beruntung punya kesempatan untuk beberapa kali bertemu dengan beliau di masa lampau. Saat saya menceritakan soal #KetikaMenulis, Teh Dee – begitu saya memanggil beliau – segera setuju untuk menceritakan cara beliau menulis.

Dewi Lestari-profile


Dari semua tulisan yang telah Anda terbitkan, apakah Anda memiliki karya favorit?
Setiap karya memberikan yang pengalaman dan pelajaran yang berbeda-beda. Jujur, saya tidak punya karya favorit karena masing-masing buku rasanya tidak bisa dibandingkan. Saya rasa, itu menjadi privilese pembaca.

Biasanya, kapan Anda menyisihkan waktu untuk menulis?
Sebetulnya tergantung situasi dan kondisi. Saat ini, karena saya mengurus anak, suami, rumah, dan pekerjaan lainnya di luar menulis, saya sengaja menyisihkan waktu subuh-subuh sebelum orang-orang di rumah terbangun. Bagi saya, syarat utama menulis, terlepas pagi atau malam, adalah keheningan dan tidak diganggu. Jadi, sebetulnya kapan pun saya punya kualitas waktu yang seperti itu, saya manfaatkan untuk menulis.

Kalau begitu, di mana Anda sering menulis? Apakah Anda memiliki tempat khusus untuk menyelesaikan tulisan Anda?
Saya lebih senang di tempat sepi karena distraksinya rendah. Tapi, kalau terpaksa, di tempat ramai juga bisa-bisa saja. Yang penting, tidak diajak ngobrol dan tidak diinterupsi. Karena kalau sudah masuk dan mengalir di dalam proses kreatif, biasanya saya sudah tidak peduli dengan lingkungan sekitar.

Bagaimana Anda biasanya menulis?
Saya selalu menulis di laptop dan tidak di kertas. Saya membuat catatan di kertas kalau hanya untuk menampung ide sementara. Sebenarnya, saya punya meja kerja, tapi jauh lebih sering menulis di meja makan. Ini meja kerja saya:

Dewi Lestari-1

Apakah Anda biasa mendengarkan musik ketika sedang menulis?
Sekarang ini nggak lagi pakai musik. Dulu sempat suka, tapi memang tidak pernah jadi syarat utama. Pakai atau tidak oke-oke saja, asal musiknya instrumental, karena kalau berlirik bisa mendistraksi. Perkecualian hanya kalau saya menulis adegan yang memang membutuhkan semacam “soundtrack” dan saya sudah tahu lagu yang pas untuk itu yang mana. Tapi, kasus seperti itu jarang terjadi.

Bagaimana “hari menulis” Anda seringnya berjalan?
Bangun jam 4 pagi untuk menulis sampai jam 7 pagi, menyiapkan anak sekolah, dilanjutkan dengan power nap sekitar 15-30 menit. Sehabis itu, biasanya saya mengerjakan pekerjaan lain di luar menulis, termasuk membaca dan riset. Kalau ada waktu kosong di sisa hari, biasanya saya manfaatkan lagi untuk menulis. Tapi, seringkali saya sudah wrap-up pagi-pagi, untuk diteruskan lagi esok harinya.

Bisakah Anda menceritakan bagaimana proses yang biasanya Anda lalui ketika menerbitkan sebuah karya – mulai dari membuat kerangka tulisan sampai akhirnya tulisan tersebut diterbitkan?
Proses untuk menulis dan menerbitkan novel dan kumpulan cerita pendek bisa berbeda.

Untuk kumpulan cerpen, sifatnya insidental dan sporadis. Antologi saya biasanya kumpulan karya dalam rentang waktu 5 tahunan. Setelah saya rasa “tabungan” karyanya cukup, saya kompilasi, edit ulang berkali-kali, lalu saya kirim ke penerbit. Untuk cerpen, saya juga tidak membuat pemetaan cerita, biasanya spontan.

Sebaliknya, kalau untuk novel, proses risetnya panjang dan bisa memakan waktu bertahun-tahun. Proses menulisnya sendiri berkisar antara 2-9 bulan. Sebelum menulis, saya biasanya membuat pemetaan cerita terlebih dahulu. Peta itu saya gunakan sebagai panduan yang sifatnya terbuka, artinya masih bisa saya revisi dan tambahkan sesuai dengan perkembangan yang terjadi. Setelah proses menulis draf pertama selesai, saya print, dan biasanya manuskrip tersebut saya “fermentasi” — didiamkan dan tidak dibaca-baca lagi — antara 2 minggu sampai 1 bulan. Setelah itu, baru proses penyuntingan dimulai. Setiap selesai penyuntingan, saya fermentasi lagi sebelum ke proses penyuntingan berikut. Siklus itu bisa berulang 3-4 kali, tergantung waktu yang saya miliki. Hasil akhir itu yang kemudian menjadi draf final.

Draf final dikirim ke penerbit dan disunting oleh editor. Mereka akan mempelajari, bertanya, memberi masukan, diskusi, dan seterusnya, sampai jadilah naskah akhir yang akan dikerjakan setting-nya. Setelah setting selesai, saya melakukan pengecekan final. Kalau semua sudah oke, maka proses cetak dimulai. Dari percetakan, buku akan didistribusi ke seluruh toko buku di Indonesia, dan waktu yang dibutuhkan untuk distribusi kira-kira dua minggu lamanya.


#KetikaMenulis adalah serial tulisan yang berisi wawancara dengan penulis-penulis terkemuka di Indonesia, mengupas bagaimana mereka menjalani proses kreatif dalam pembuatan sebuah tulisan, termasuk kebiasaan-kebiasaan para penulis ketika menulis. #KetikaMenulis diterbitkan setiap hari Minggu kedua setiap bulannya di alanda-kariza.com. Ada nama penulis kamu kagumi dan inginnya bisa kita wawancarai? Cantumkan di kolom Komentar di bawah ya.

2 Comments LABELS ~ Ketika Menulis, Menulis

SHARE >>
  • 1
  • 2
  • Next Page »

Alanda Kariza

Alanda Kariza

Tentang Alanda / Kontak

Terhubung di Media Sosial

  • Email
  • Instagram
  • Linkedin
  • Twitter
  • YouTube

Ada yang kamu cari?

Baca tulisan saya di surelmu

Sophismata

Sophismata

Baca ulasan buku Sophismata di Goodreads | Pesan edisi bertandatangan di sini

Beats Apart

Beats Apart

Baca ulasan buku Beats Apart di Goodreads | Pesan edisi bertandatangan di sini

Arsip

  • November 2018
  • Oktober 2018
  • September 2018
  • Agustus 2018
  • Juli 2018
  • Juni 2018

Kategori

  • Karier & Pendidikan
  • Keluarga
  • Ketika Menulis
  • Lain-lain
  • Menulis
  • Podcast

Tulisan Populer

Podcast: PCOS (Sindrom Ovarium Polikistik) yang Saya Miliki

Podcast: PCOS (Sindrom Ovarium Polikistik) yang Saya Miliki

#KetikaMenulis: Windy Ariestanty

Manajemen Waktu di Berbagai Peran

Manajemen Waktu di Berbagai Peran

Meta

  • Masuk
  • RSS Entri
  • RSS Komentar
  • WordPress.org
Load More...
Follow on Instagram

Copyright

All rights reserved © 2018 Alanda Kariza.

THEME BY ECLAIR DESIGNS